SATULAYAR.COM - Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, mengungkapkan fakta mengejutkan soal Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mengalami segudang masalah. Hal ini disampaikan Tito dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, Rabu (16/7/2025).
Dia mengungkapkan bahwa dari 1.091 BUMD di seluruh Indonesia, 300 di antaranya mengalami kerugian. Total kerugian mencapai Rp5,5 triliun. Parahnya lagi, kontribusi dividen kepada pemerintah daerah hanya 1 persen dari total aset BUMD yang mencapai Rp 1.240 triliun.
"Dividen hanya 1 persen dari total aset, ini memprihatinkan. Laba juga hanya 1,9 persen dari total aset," ungkap Tito.
Temuan ini bukan sekadar menunjukkan persoalan manajemen saja. Ini adalah cermin dari krisis tata kelola dan profesionalitas tata kelola BUMD.
Penyebab kerugian bukan hanya karena tantangan bisnis atau pasar. Di sinilah mirisnya. Hal itu juga disebabkan oleh praktik nepotisme politik, terutama masuknya “tim sukses” dalam jajaran manajemen tanpa kompetensi profesional.
Tito Karnavian tidak menampik praktik ini. Ia bahkan menyebut bahwa banyak pejabat di BUMD merupakan titipan politik melalui jalur “orang dalam”. Orang Dalam kerap diplesetkan dengan akronim ORDAL.
"Selama mereka profesional, hal itu bisa ditoleransi. Namun kenyataannya, banyak dari titipan Ordal ini justru menjadi beban institusi, baik sebagai pegawai, direksi, maupun komisaris," ujarnya.
BUMD Rugi dan Nihil Kontribusi
Dari data Kemendagri, hanya 678 BUMD yang mencatatkan laba. Sisanya rugi atau bahkan tidak melaporkan kondisi keuangan terbaru.
Provinsi DKI Jakarta dan Sumatera Selatan masing-masing memiliki 5 BUMD yang mengalami kerugian. Di kategori kabupaten, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat menempati posisi teratas dalam jumlah BUMD yang merugi.
Ironisnya, hanya segelintir BUMD yang mampu memberikan kontribusi signifikan. PT BPD Jabar dan Banten misalnya, mencatat laba Rp 678 miliar. Capaian ini jauh di atas BUMD lain yang hanya meraup laba puluhan ribu hingga beberapa juta rupiah saja.
Beberapa BPR milik pemerintah daerah bahkan hanya mencetak laba Rp 1 – 8 juta saja. Angka yang sungguh jauh dari layak untuk sebuah badan usaha.
Sektor paling sehat adalah perusahaan air minum daerah dan bank perkreditan rakyat (BPR). Sektor ini memang notabene dimonopoli oleh pemerintah daerah. Sementara sektor lain seperti pelabuhan dan pasar kerap menjadi wajah suram. Hanya menjadi sarang kerugian.
Butuh Reformasi Kelembagaan dan Pembina BUMD
Pemerintah pusat tidak bisa mengatasi permasalahan ini hanya dengan teguran atau permintaan laporan kinerja. Pemerintah pusat harus melakukan pembenahan sistemik melalui regulasi dan kelembagaan.
Mendagri Tito Karnavian telah mengusulkan pembentukan Undang-Undang BUMD. Ini penting agar pemerintah darah dapat mengatur pengelolaan, pembinaan, pemberian sanksi, hingga pengangkatan pejabat secara lebih tegas.
Menteri Tito juga mengusulkan pembentukan lembaga Pembina BUMD setingkat Eselon I di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Sayangnya, hingga kini peran Kemendagri dalam tata kelola BUMD masih terbatas. Meskipun sudah ada PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, peran kemendagri tetap masih terbatas.
Tanpa kerangka hukum yang lebih kuat, pemerintah pusat sulit melakukan intervensi terhadap pola karier, pengangkatan, maupun pemberian sanksi di tubuh BUMD.
BUMD Menuju Profesionalisme dan Akuntabilitas
Pemerintah Pusat membutuhkan agenda mengenai arah baru dalam pengelolaan BUMD. Profesionalisme dan akuntabilitas harus menjadi fondasi utama.
Pengangkatan pejabat BUMD tidak boleh menjadi barter balas jasa politik. Tim Sukses menjadi Beban BUMD.
Daerah-daerah harus menghentikan praktik “bagi-bagi jabatan BUMD” kepada para loyalis politiknya tanpa rekam jejak yang patut dan layak (Fit and Proper).
Sejatinya, BUMD adalah instrumen ekonomi daerah yang strategis. Ia bisa menjadi instrumen pemda dalam penciptaan lapangan kerja, “income generate” bagi kas daerah, atau menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi lokal.
Namun selama pemerintah daerah masih mempelakukan BUMD sebagai “ladang kekuasaan”, bukannya entitas bisnis profesional, maka selama itu pula publik akan terus membayar mahal untuk kegagalan yang sama.
Saatnya DPR dan pemerintah pusat bertindak. Mereka harus segera membahas rancangan Undang-Undang tentang BUMD, yang mencakup pembentukan lembaga pembina BUMD.
Tanpa keberanian melakukan reformasi struktural, Tim Sukses jadi Beban BUMD, bukan mesin kesejahteraan rakyat. (*).
Social Header