Oleh : Dwi Aulia Anggraini (Penggiat Literasi)
Setiap kali kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada tanggal 2 Mei, bangsa ini dihadapkan pada satu pertanyaan fundamental; untuk siapa dan untuk apa pendidikan diselenggarakan? Dalam suasana yang sarat seremoni, pujian terhadap capaian pembangunan pendidikan kerap menggema. Namun di balik retorika dan statistik makro, realitas pendidikan kita menyimpan banyak ironi dan paradoks yang menuntut pembacaan lebih dalam dan reflektif.
Hardiknas bukan sekadar perayaan kelahiran Ki Hadjar Dewantara, melainkan sebuah momen historis untuk merenungkan dan menimbang ulang arah pembangunan pendidikan nasional. Ki Hadjar tidak sekadar meletakkan fondasi sistem pendidikan Indonesia, ia merumuskan kerangka etik dan filosofis yang menjadikan pendidikan sebagai medium pembebasan, bukan domestikasi. Konsep pendidikan sebagai pemberdayaan subjek dan bukan semata transmisi pengetahuan, tampaknya masih jauh dari aktualisasi dalam lanskap pendidikan kita hari ini.
Pendidikan dalam Cengkeraman Neo-liberalisme dan Birokratisasi
Salah satu krisis utama pendidikan di Indonesia saat ini adalah kecenderungannya menjadi alat reproduksi status quo dalam kerangka kapitalisme global. Pendidikan disubordinasikan ke dalam logika pasar, menjadikannya komoditas yang bisa diperjualbelikan. Perguruan tinggi berlomba meningkatkan "daya saing global" demi akreditasi internasional dan ranking semu, sementara sekolah-sekolah dasar hingga menengah dikonstruksi menjadi pabrik pencetak nilai dan indeks prestasi.
Alih-alih menjadi ruang subversif yang membebaskan, sekolah-sekolah kita kian menyerupai institusi teknokratis yang kering dari makna eksistensial. Ruang-ruang kelas lebih sering menjadi tempat berlangsungnya hegemoni kurikulum yang padat muatan administratif tetapi miskin relevansi kontekstual. Guru yang seharusnya menjadi subjek perubahan, justru dikekang oleh sistem evaluasi rigid yang lebih menilai kepatuhan daripada kreativitas. Penilaian kinerja guru disempitkan menjadi pengisian borang, bukan pertumbuhan pedagogis yang reflektif.
Dalam konteks ini, kita menyaksikan bagaimana kebijakan pendidikan nasional banyak disandera oleh pendekatan birokratik dan managerialistik. Kebijakan seperti Merdeka Belajar, meskipun pada tataran wacana menawarkan paradigma alternatif, dalam praksisnya belum mampu mendobrak inersia struktural yang mengakar. Tanpa keberanian politik untuk mereformasi sistem secara radikal, pendidikan akan terus berjalan di tempat sambil menyimpan bara laten ketimpangan sosial.
Ketimpangan Struktural dan Dekolonisasi Pengetahuan
Ketimpangan dalam akses dan kualitas pendidikan tidak hanya merupakan masalah teknis, melainkan problem struktural yang merefleksikan ketidakadilan historis. Di banyak daerah terpinggirkan dari NTT, Papua, hingga pelosok Sumatera akses terhadap guru berkualitas, sarana digital, dan literasi dasar masih menjadi tantangan nyata. Di sisi lain, pendidikan swasta berbasis kapital mampu menyediakan fasilitas modern, tetapi dengan harga yang hanya terjangkau oleh kelas menengah atas. Maka, pendidikan kian menjadi instrumen reproduksi kelas sosial alih-alih menjadi sarana mobilitas vertikal.
Lebih dari itu, pendidikan kita juga belum selesai berdamai dengan warisan kolonialisme epistemik. Kurikulum nasional, dari bahasa hingga sejarah, masih banyak mengandung bias barat-sentris dan minim dialektika dengan kearifan lokal. Ilmu pengetahuan dikonstruksi dalam bahasa teknokratis yang membungkam narasi-narasi alternatif. Upaya dekolonisasi pengetahuan, yakni membongkar dominasi epistemik dan menghidupkan kembali pengetahuan lokal, belum menjadi arus utama dalam praksis pendidikan.
Ironisnya, dalam upaya mengejar modernitas, kita justru terjebak dalam imitasi tanpa esensi. Pendidikan yang tercerabut dari akar budaya dan sejarahnya cenderung melahirkan generasi yang tercerabut pula dari identitas dan realitasnya. Kemandirian berpikir yang seharusnya menjadi tujuan akhir pendidikan, justru dikorbankan atas nama efisiensi dan produktivitas.
Pengabaian terhadap Humaniora dan Krisis Etika Publik
Dalam skema pembangunan pendidikan nasional, ilmu-ilmu humaniora dan sosial cenderung dianggap inferior dibandingkan ilmu eksakta dan teknologi. Akibatnya, generasi muda diasah untuk menjadi pekerja yang efisien secara teknis, tetapi rapuh secara etis dan sosial. Kemampuan berpikir kritis, berempati, dan membaca realitas dengan kompleksitas justru semakin langka. Inilah salah satu akar dari krisis etika publik yang melanda berbagai sektor kehidupan kita hari ini: pendidikan tidak lagi mampu mencetak manusia, tetapi hanya menghasilkan individu yang siap pakai.
Padahal, sebagaimana diperingatkan tokoh pendidikan seperti Ivan Illich dan Paulo Freire, pendidikan yang tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaan akan melahirkan masyarakat yang tumpul secara moral. Dunia modern yang kompleks membutuhkan lebih dari sekadar kecakapan teknis; ia membutuhkan kedewasaan emosional, keberanian moral, dan imajinasi sosial. Semua itu hanya dapat tumbuh dalam pendidikan yang memanusiakan manusia—pendidikan yang membuka ruang dialog, refleksi, dan pemaknaan.
Menuju Pendidikan sebagai Proyek Emansipasi Sosial
Tantangan utama pendidikan Indonesia ke depan bukan hanya meningkatkan angka partisipasi sekolah, tetapi mereformulasi secara radikal arah dan orientasi dasarnya. Pendidikan tidak boleh lagi dipahami sebagai proyek administratif atau ekonomi semata. Ia harus diposisikan sebagai proyek emansipasi sosial yang bertumpu pada keadilan, keberagaman, dan kedaulatan pengetahuan.
Pertanyaannya, apakah negara siap melakukan transformasi struktural yang dibutuhkan? Apakah kita berani menantang narasi-narasi dominan yang selama ini membentuk desain pendidikan kita? Ataukah kita akan terus memelihara sistem pendidikan yang sekadar melanggengkan ketimpangan dan kebisuan?
Momentum Hardiknas harus menjadi saat yang tepat untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit tersebut. Kita membutuhkan keberanian intelektual dan politik untuk merumuskan ulang cita pendidikan nasional, yang tidak hanya adaptif terhadap tuntutan zaman, tetapi juga berakar pada realitas sosiokultural bangsa. Pendidikan harus kembali kepada fitrahnya: membebaskan manusia dari ketidaktahuan, ketakutan, dan ketundukan terhadap struktur yang tidak adil.
Mereka yang Berdiri dalam Sunyi: Penghormatan untuk Seluruh Tenaga Pendidik
Namun dalam seluruh kompleksitas dan problematika tersebut, satu hal yang layak diapresiasi secara mendalam adalah keteguhan dan dedikasi para tenaga pendidik Indonesia. Di tengah keterbatasan, minimnya kesejahteraan, dan tekanan birokratis yang membelenggu, para guru tetap menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan komitmen moral. Mereka adalah penjaga nyala api pendidikan yang bekerja dalam diam—mengajar, membimbing, dan memanusiakan generasi muda di tengah sistem yang seringkali tidak berpihak kepada mereka.
Guru-guru honorer di pelosok negeri yang tetap setia mendidik meski digaji tidak layak; dosen-dosen yang mengabdi pada ilmu meski dihimpit beban administratif yang tidak proporsional; semuanya adalah bukti bahwa pendidikan Indonesia masih bertahan berkat kekuatan moral individu-individu yang menghayati tugas mendidik sebagai panggilan peradaban. Penghormatan sejati kepada mereka tidak cukup diucapkan dalam seremoni, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan yang memanusiakan dan memberdayakan secara konkret.
Tenaga pendidik menjadikan pendidikan bukan hanya jalan pintas menuju kemajuan ekonomi, melainkan jalan panjang menuju peradaban yang adil dan bermartabat. Dalam kerangka itulah, kita harus menghidupkan kembali semangat Ki Hadjar Dewantara sebagai pelita moral dan intelektual bangsa. Pendidikan harus menjadi ruang harapan, bukan sekadar ruang formalitas. Ia harus melahirkan manusia-manusia merdeka, bukan sekadar individu yang terdidik secara administratif.
Hardiknas seharusnya tidak berhenti pada seremoni dan slogan. Ia adalah panggilan untuk bertindak, untuk merancang ulang pendidikan yang tidak lagi menjadi beban struktural, tetapi sumber daya transformatif. Karena hanya dengan pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan, kita dapat membayangkan masa depan Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan beradab.
Social Header