Breaking News

Gerakan Ayah Mengambil Rapor: Antara Simbol Partisipasi dan Tantangan Keterlibatan Substantif

Oleh : Dwi Aulia Anggraini

Keterlibatan ayah dalam pendidikan anak selama ini masih menghadapi berbagai tantangan kultural dan struktural. Dalam banyak keluarga Indonesia, peran ayah kerap direduksi pada fungsi ekonomi, sementara urusan pendidikan formal dan pengasuhan sehari-hari lebih sering dibebankan kepada ibu. Pola ini tidak hanya membentuk relasi timpang dalam keluarga, tetapi juga memengaruhi kualitas keterlibatan orang tua terhadap perkembangan akademik dan psikososial anak. 

Dalam konteks tersebut, Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah yang dicanangkan pemerintah menjadi sebuah intervensi kebijakan yang penting untuk dibaca secara kritis.

Gerakan ini secara resmi tertuang dalam Surat Edaran Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Mendukbangga/Kepala BKKBN) Nomor 14 Tahun 2025 tentang Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah. 

Melalui surat edaran ini, negara mengirimkan pesan normatif bahwa pendidikan anak merupakan tanggung jawab bersama kedua orang tua. Kehadiran ayah di sekolah diposisikan sebagai simbol komitmen terhadap tumbuh kembang anak sekaligus upaya mendorong keterlibatan ayah secara lebih aktif dalam proses pendidikan.

Secara konseptual, kebijakan ini sejalan dengan berbagai temuan akademik yang menegaskan bahwa keterlibatan ayah berpengaruh positif terhadap prestasi belajar, perkembangan emosi, dan pembentukan karakter anak. Kehadiran figur ayah yang suportif dapat meningkatkan motivasi belajar serta memperkuat rasa aman dan kepercayaan diri anak. 

Dengan demikian, gerakan ini memiliki potensi strategis untuk mendukung agenda penguatan ketahanan keluarga yang selama ini menjadi fokus pembangunan kependudukan dan keluarga di Indonesia.

Namun demikian, persoalan utama dari kebijakan ini terletak pada risiko reduksi makna keterlibatan menjadi sekadar kehadiran fisik. Mengambil rapor berpotensi dipahami sebagai aktivitas seremonial apabila tidak disertai dengan pemaknaan yang lebih substantif. 

Kehadiran ayah di sekolah seharusnya menjadi pintu masuk bagi dialog antara orang tua, anak, dan institusi pendidikan, bukan berhenti pada formalitas administratif. Tanpa pendalaman peran dan tindak lanjut konkret dalam pengasuhan dan pendampingan belajar, gerakan ini berisiko kehilangan daya transformasinya.

Selain itu, implementasi kebijakan perlu mempertimbangkan realitas sosial-ekonomi yang beragam. Tidak semua ayah memiliki fleksibilitas waktu untuk hadir di sekolah pada jam kerja. Ayah yang bekerja di sektor informal, pekerja harian, atau mereka yang menghadapi sistem kerja rigid berpotensi terpinggirkan oleh standar ideal yang dibangun kebijakan ini. Tanpa pendekatan yang inklusif dan adaptif, gerakan ini justru dapat melahirkan stigma baru terhadap ayah yang dianggap “tidak terlibat”, meskipun keterbatasan mereka bersifat struktural.

Oleh karena itu, Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah seharusnya dipahami sebagai langkah awal menuju perubahan paradigma yang lebih luas. Tantangan pemerintah bukan hanya mendorong kehadiran ayah di sekolah, tetapi memastikan keterlibatan tersebut bermakna, berkelanjutan, dan kontekstual. Tanpa penguatan edukasi pengasuhan, dukungan kebijakan lintas sektor, serta perubahan budaya keluarga, gerakan ini berisiko berhenti sebagai simbol kebijakan yang kuat secara narasi, namun lemah dalam praktik.

Di luar berbagai catatan kritis tersebut, penting untuk ditegaskan bahwa Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah merupakan langkah progresif pemerintah dalam merespons persoalan keterlibatan orang tua di sektor pendidikan. 

Di tengah kompleksitas tantangan pendidikan nasional, mulai dari kesenjangan kualitas pembelajaran, persoalan kesehatan mental peserta didik, hingga melemahnya relasi sekolah dan keluarga, kehadiran negara dalam mendorong partisipasi ayah patut dipandang sebagai bentuk keberpihakan terhadap pendidikan yang lebih holistik.

Gerakan ini mencerminkan kesadaran pemerintah bahwa pendidikan tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada institusi sekolah. Pendidikan adalah ekosistem yang menuntut kolaborasi antara negara, sekolah, dan keluarga. Dengan mengajak ayah terlibat secara langsung, pemerintah berupaya memperluas basis aktor pendidikan, sekaligus memutus anggapan lama bahwa pengasuhan dan pendidikan anak merupakan tanggung jawab domestik perempuan semata. 

Dalam perspektif kebijakan publik, pendekatan ini menunjukkan arah pembangunan pendidikan yang tidak hanya berfokus pada kurikulum dan capaian akademik, tetapi juga pada relasi sosial yang menopangnya.

Lebih jauh, gerakan ini dapat menjadi pintu masuk bagi transformasi budaya pengasuhan di Indonesia. Ketika negara secara terbuka mengafirmasi peran ayah dalam pendidikan, pesan ini memiliki daya legitimasi yang kuat di tingkat masyarakat. 

Jika gerakan ini diimplementasikan secara konsisten dan disertai dengan dukungan kebijakan lanjutan, Gerakan Ayah Mengambil Rapor berpotensi menjadi praktik baik dalam pembangunan pendidikan berbasis keluarga yang lebih setara, inklusif, dan berorientasi pada kepentingan terbaik anak.

© Copyright 2025 - SATULAYAR.COM | JELAJAH BERITA TERKINI