Breaking News

PBB-P2 di Tengah Krisis: Antara Kewajiban Warga dan Realitas Ekonomi Desa

Oleh: Forum Pemerhati SPPT PBB-P2

Di banyak desa hari ini, realitas sosial dan ekonomi berubah lebih cepat daripada sistem perpajakan yang mengaturnya. Ketika krisis ekonomi makin merata, daya beli rakyat merosot, dan bantuan sosial tidak menjangkau semua warga, kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) tetap datang seperti biasa. Tanpa melihat dapur rakyat, tanpa menimbang kemampuan membayar.

Di rumah-rumah kayu beratap seng, di lorong sempit dan pekarangan kecil, tim desa membawa SPPT dan mengajak warga menunaikan kewajiban fiskal. Namun yang mereka temukan bukan penolakan keras, melainkan suara lemah yang jujur. 

“Kami tak pernah dapat BLT, PKH, atau bantuan lainnya. Beli beras saja susah. Jangan dulu datang menagih pajak,” ujar seorang warga desa. 

Pernyataan ini mungkin terdengar sederhana, tetapi mengandung pertanyaan besar tentang keadilan fiskal dan keberpihakan negara dalam mengelola beban ekonomi rakyat kecil.

Bukan Penolakan, Tapi Seruan Keadilan

PBB-P2 pada dasarnya bukanlah momok. Ia bukan beban jika diimbangi dengan pelayanan, pendapatan yang layak, dan perhatian negara. Tapi hari ini, sistemnya belum mampu membaca kenyataan di banyak desa. 

Warga yang tak lagi punya penghasilan tetap, lahan-lahan tidur yang belum produktif, kepala keluarga tanpa bantuan sosial, petani yang gagal panen berkali-kali, tapi semuanya tetap dicatat dalam SPPT yang menuntut setoran yang sama setiap tahunnya.

Lebih parah, dokumen SPPT yang dibagikan seringkali tidak mencantumkan lokasi jelas. Hanya nama dusun, tanpa RT, tanpa batas fisik, tanpa peta blok. Pemerintah desa diminta menagih, tapi tidak diberi akses ke sistem data. Saat terjadi kekeliruan atau objek pajak sudah berubah, desa-desa tidak bisa mengoreksi.

Namun saat target tak tercapai, desa juga yang disalahkan. Bahkan dana desa bisa tertahan, padahal masalah utama justru ada di hulu sistem yang belum diperbaiki.

Saatnya Sistem Mendengar

Pemerintah daerah dalam hal ini Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD), perlu mengambil langkah lebih adil dan kontekstual. PBB-P2 tidak cukup dipandang sebagai angka penerimaan, melainkan harus diletakkan dalam kerangka sosial dan ekonomi warga. 

Lantas apa yang harus dilakukan? Salah satu jalan keluar adalah mengembangkan pendekatan fiskal yang lebih berbasis kenyataan sosial dan bukan hanya target administratif. Untuk itu, Pemerintah daerah perlu mengambil langkah-langkah, seperti ;

1. Warga miskin non-penerima bantuan diberikan ruang untuk penangguhan atau pengurangan sementara PBB;

2. Sistem SPPT diperbaiki dengan lokasi yang lebih rinci dan akses data diberikan kepada pemerintah desa;

3. Evaluasi terhadap desa tidak hanya berbasis persentase PBB, tetapi pada kerja sosial dan kondisi objektif wilayah;

4. Penagihan PBB di masa krisis dilakukan dengan pendekatan dialogis dan manusiawi, bukan tekanan administratif.

Negara Tidak Boleh Menutup Mata

Tidak adil jika negara hanya hadir saat menagih, tapi absen ketika rakyat membutuhkan. PBB-P2 harus menjadi bagian dari arsitektur keadilan fiskal, bukan sekadar pajak tahunan yang ditarik tanpa empati. Negara harus hadir untuk melindungi, bukan sekadar menagih.

Pajak Adalah Kewajiban, Tapi Hak Untuk Hidup Layak Adalah Dasar Konstitusional

Hari ini, di banyak desa suara kecil warga menjadi cermin besar bagi kebijakan. Kami tidak sedang menolak kewajiban. Kami hanya sedang mengingatkan, bahwa kewajiban harus lahir dari sistem yang adil, dan keadilan tidak boleh dilupakan hanya karena target fiskal. 

Dalam kondisi ekonomi normal, PBB mungkin tidak menjadi masalah besar. Tetapi dalam krisis yang mendalam, kewajiban fiskal yang dipaksakan secara merata justru bisa melukai rasa keadilan sosial. 

Menagih dengan Nurani

Pajak tetaplah bagian dari tanggung jawab bernegara. Tetapi di tengah kondisi ekonomi yang berat, pemungutan pajak tidak boleh kehilangan hati.

Memaksa rakyat yang lapar untuk membayar, tanpa memberi ruang keadilan dan kebijakan yang empatik, adalah bentuk kekerasan struktural yang tersembunyi. 

Pajak tidak boleh menjadi alat penindasan. Ia harus menjadi bagian dari keadilan sosial yang hidup dan berpihak. 

© Copyright 2025 - SATULAYAR.COM | JELAJAH BERITA TERKINI