Breaking News

PBB Dibayar ADD Cair, Logika Terbalik di Tengah Desa Menjerit


SATULAYAR.COM
- Klarifikasi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar melalui laman resminya pada Kamis (19/6/2025) justru menambah polemik di kalangan pemerintahan desa. Dalam rilis berjudul “Pemerintah Desa Diminta Pahami Kewajiban Terkait PBB-P2, BPKPD: Ini Demi Kepentingan Bersama”, Pemkab mengonfirmasi bahwa pencairan Alokasi Dana Desa (ADD) memang dikaitkan dengan realisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2), meski tanpa menyebutkan dasar regulasi formal yang menjadi pijakan kebijakan tersebut.

Dalam klarifikasi tersebut, BPKPD menyatakan bahwa keterlambatan pencairan ADD bukan disebabkan oleh pemotongan atau penahanan dana, melainkan karena belum terpenuhinya kewajiban desa dalam menyetor PBB. 

“Bukan menahan, tapi karena syarat belum dipenuhi,” tulis mereka, tanpa menjelaskan bahwa syarat dimaksud tidak tercantum dalam ketentuan resmi dari Kementerian Desa maupun dalam regulasi yang mengatur transfer keuangan desa.

Sejumlah kepala desa yang sebelumnya telah menyampaikan keluhan menyayangkan pernyataan tersebut, karena seluruh dokumen dan laporan yang menjadi syarat pencairan ADD tahap II sebenarnya sudah lengkap. Mereka mempertanyakan sejak kapan capaian PBB menjadi komponen syarat pencairan dana operasional desa, padahal secara hukum, pajak adalah kewajiban wajib pajak, bukan perangkat desa.

“Kalau begitu logikanya, pelayanan ke masyarakat boleh dihentikan juga karena mereka belum bayar pajak? Kan aneh. Kami ini pemerintah, bukan penagih utang,” ujar salah seorang kepala desa.

Persoalan ini makin rumit karena di beberapa desa ditemukan adanya masalah administratif dalam sistem pemungutan PBB itu sendiri. Kepala desa mengungkap adanya SPPT ganda dan objek pajak ‘siluman’ yang tidak pernah diketahui keberadaannya oleh aparat desa setempat. Bahkan, perangkat desa kebingungan ketika diminta menagih pajak dari objek yang tidak tercatat secara fisik di lapangan.

Tak hanya itu, kebijakan penundaan ADD telah berdampak serius terhadap kelangsungan pelayanan pemerintahan di tingkat desa. Beberapa desa harus menghentikan kegiatan rutin karena kekosongan kas. Perangkat desa bahkan menyatakan merasa ‘dikorbankan’ oleh kebijakan yang tidak berdasar hukum jelas ini.

Ironisnya, meski Pemkab menegaskan bahwa penekanan pada realisasi PBB dilakukan “demi kepentingan bersama,” tak satu pun aturan pusat yang mendukung intervensi tersebut. Surat Edaran Kementerian Desa PDTT maupun regulasi keuangan daerah tidak menyebutkan bahwa realisasi PBB adalah syarat pencairan ADD. Jika pun ada kebijakan lokal, seharusnya dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah yang sah secara hukum.

Suara protes dari desa kini semakin keras terdengar. Mereka mendesak Pemkab bersikap adil dan tidak membebankan tanggung jawab fiskal kepada desa tanpa dukungan hukum yang memadai. Jika pencairan ADD digantungkan pada capaian PBB warga, maka peran perangkat desa berubah drastis—dari pelayan masyarakat menjadi penagih pajak keliling.

“ADD itu dana untuk pelayanan publik, bukan insentif pungutan,” tegas seorang kades di wilayah daratan Selayar.

Dengan munculnya klarifikasi tanpa dasar regulasi yang jelas, polemik ini belum menunjukkan tanda akan mereda. Satu hal yang pasti, logika “PBB dulu baru ADD cair” dianggap sebagai praktik kebijakan terbalik yang justru memperlemah pelayanan desa. Pelayanan di desa belakangan, asal pajak lancar. (Tim)

© Copyright 2025 - SATULAYAR.COM | JELAJAH BERITA TERKINI